PATAH HATI, BERSYUKUR
Oleh: Harkaman
Hari ini adalah hari yang sangat
mengesalkan bagiku. Kecewa dan sedih itulah yang kurasakan. Bahkan
sempat berpikir untuk mengakhiri cerita hidupku. Bagaimana tidak sedih
dan kecewa, hubunganku selama 5 tahun dengan Nanda Pratama sia-sia
saja. Dia pergi dan mencapakkanku begitu saja. Janji manis yang pernah
terucap , hanya sekadar janji “Aku akan selalu mencintaimu honey dan apapun yang terjadi aku akan menyayangimu ”.
“Ah…… Masa indah bersamanya tinggal sebuah kenangan.”
“Ah…… Dia menyakiti perasaanku.” Kataku lirih dalam hati.
Aku hanya diam di sudut kelas, suasana
benar-benar hening, hanya ada aku. Karena sekarang adalah waktu makan
siang. Namun tanpa kusadari Ningsi sahabatku yang dari tadi merasa aneh
dengan tingkah aku hari ini, sejak tadi mengamatiku. Siang ini dia tidak
langsung ke kantin sebagaiamana biasanya, namun dia mengintip dari luar
kelas. Tak lama kemudian dia pun menghampiriku.
“Ada masalah apa say”? Katanya sambil
tersenyum. (Aku yakin itu adalah senyum yang tulus, tanpa kebohongan
sedikit pun. Tapi aku tidak merasa tergugah sedikitpun. Sepertinya
senyum itu tidak ada artinya bagiku saat ini. Mataku dibutahkan oleh
sebuah perasaan yang karu-karuan).
“Tidak ada kok” Jawabku singkat.
“Ayolah…. Aku tahu kau sedang dalam masalah, cerita dong!” Bujuk Ningsi yang sedang duduk di sampingku.
Mendengar bujukan Ningsi, aku terdiam
sejenak, kemudian bercerita kepadanya “Nanda putusin aku” jawabku sambil
mengeluarkan air mata kepedihan. Sungguh sakit menyebut namanya, nama
yang dulu indah bagiku, namun jadi duri kala ini. Kami sama-sama diam,
sebelum Ningsi memecah suasana dengan menasihatiku.
“Kenapa bersedih? Biarlah dia pergi, toh
dia bukan siapa-siapa kamu. Haruskah kamu tangisi orang yang tidak
peduli denganmu, apa lagi dia bukan Suamimu.”
Aku hanya sedikit mengangguk mendengarkan nasihat Ningsi. Kemudian dia melanjutkannya.
“Kamu ingin dia tetap bersamamu,
memangnya dia itu siapanya kamu? Pacar? Hanya pacar. Apalah artinya
pacar. Tidak ada yang bisa kau banggakan darinya, karena dia bukanlah
milikmu.” Ningsi menarik nafas dalam-dalam dan kurasakan hembusannya
mengenai pipiku.
“Say….! Hanya Kekasih Halal yang pantas kita banggakan, bukan Pacar.”
“Say…..! Kita ini mahasiswa jurusan
agama, kamu pasti tahu batas-batas pergaulan antar wanita dengan
laki-laki, apa ada di dalam agama pembahasan tentang pacar? Apa ada
pembahasan tentang hak-hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh
seorang pacar? Tidakkan? Yang ada adalah pembahasan tentang hak dan
kewajiban anatar suami dan istri”
“Aku yakin ini adalah yang terbaik yang Allah berikan kepadamu dan kuharap kau juga berpikir seperti itu, Tahukan ayat ini ‘Boleh
jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi
(pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah
mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”?[1]
Aku masih diam saja mendengarnya, sampai
ia berdiri hendak pergi. Ningsi berjalan meninggalkanku, namun dia
menoleh dan memandangiku.
“Say….! Percayalah! Jodoh tidak akan kemana, orang yang baik akan mendapatkan yang terbaik.”
“Ia, terima kasih say..!” Jawabku sambil
menghapus air mata dan sedikit memberikan senyuman kapada Ningsi, walau
itu adalah senyuman yang sangat tipis.
Perlahan-lahan persaanku mulai membaik.
Sepertinya apa yang dikatakan Ningsi memang benar, tidak ada yang perlu
disesali dan dijadikan beban pikiran. Lalu kuangkat kedua tanganku dan
kuhadapkan wajahku ke langit:” Ya. Allah…Tuhan yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Aku tahu keputusan-Mu selalu yang terbaik. Engkau
memberikan apa yang hamba-Mu inginkan, bukan apa yang diinginkan. Ya
Allah…… berikan ketabahan dalam menanti kekasih halalku. Dan terima
kasih Engkau telah menjauhkanku dari perbuatan aniaya”.
[1]QS. Al-Baqarah: 216
Tidak ada komentar:
Posting Komentar